Selasa, 12 April 2011

Misteri Hantu Impor

Oleh : Vivi Yulianti
 
A
ku membersihkan halaman pojok depan rumah dengan wajah super di tekuk. Seperti lipantan kertas origami yang akan di bentuk lipatan bebek. Bagaimana gak kesal! Setiap hari aku harus membersihkan daun pohon nangka yang berserakan dan bertebaran dimana-mana. Jika tidak… Ibu pasti marah, dan aku lebih baik membersihkannya saja daripada mendengar omelannya yang menggema tepat di gendang telingaku.  Belum lagi suaranya seperti halilintar yang menggeledek. Oh… no…!!!
            Rasanya ingin aku menebangnya saja, menebang pohon nangka yang sangat rindang, akarnya saja sering membuatku tersandung, belum lagi  batangnya yang besar dan entah gossip, mitos atau fakta konon pohon nangka itu ada penunggunya. Hal-hal berbau mistik memang selalu menimpa orang-orang yang kebetulan lewat tengah malam di depan rumahku. Mereka bilang pohon nangka itu ada penunggunya. Terakhir Irwan yang mengatakannya sendiri padaku. Aku tak menggubrisnya, Irwan tetanggaku memang selalu pulang malam dalam kondisi mabuk. Mungkin itu gara-gara efek alcohol yang memicu syarafnya. Lalu  Dodi  juga mengatakan hal yang sama. Ia melihat sosok bayang-bayang samar di dekat pohon nangka, saat ia pulang kerja tengah malam.
“Apa karena gue buang air kecil sembarangan ya?”  pertanyaannya membuatku mengerinyitkan dahi.
“Maksud lo?”
“Iya… sepulang kerja gue kebelet pipis, ya udah gue buang air kecil di sekitar pohon nangka depan rumah lo, hi hi hi…” ujar Dodi nyengir.
“Pantes ya…!!! lain kali sekalipun mumi, vampire, drakula  atau hantu impor lainnya muncul mengganggu lo! Gue orang pertama yang setuju akan hal itu,” ujarku kesal.
 Beberapa temanku juga pernah ada yang di ganggu. Vika salah satunya, dia memang gak pernah bisa berbicara stabil… suaranya selalu stereo seperti sound system yang menggelegar. Lalu Farhan, ia mengaku melihat  seorang wanita berambut panjang , saat ia buang air besar di kamar mandi rumahku.
“Kuntilanak?” tanyaku ingin tahu.
“Bukan… entahlah, yang pasti aku tidak akan pernah lagi ke rumahmu.”
“Rasain makanya kalau ngomong  jangan, asbun (asal bunyi),”  pekik ku kesal.  I don’t care…!!! Rasanya cerita itu hanyalah orang-orang kolot yang mempercayainya. Please guys… kita tinggal bukan di zaman firaun masih pake popok dan ingusnya netes kemana-mana. Atau di zaman  Pra sejarah zaman dimana manusia belum mengenal tulisan yang setiap daerah hanya di huni oleh manusia purba seperti Megantrophus Paleojavanicus atau Pithecantropus. Kita tinggal di zaman modern, masa iya masih di temukan juga hal-hal berbau horror, forget it…!!!
Mungkin itu hanya cerita kuno. Dan kejadian mistik itu, aku yakin hanya halusinasi orang- orang yang terlalu mempercayai cerita konyol, yang telah mendarah daging.
Ambil contoh dari pelajaran matematika yang kebanyakan orang bilang, pelajaran matematika itu sangat sulit dan tidak bisa dipecahkan. Maka saat aku temui soal matematika yang sulit, otak kiriku tak lagi mau berpikir. Toh… kebanyakan orang bilang, itu memang sulit. Aku baru menyadarinya saat aku bertemu dengan Aris temanku yang terpilih mengikuti lomba olympiade matematika ke luar negeri. Dia bilang matematika itu mudah. Maka setiap ku temui soal matematika yang sulit, ku anggap mudah. Dan otak kiriku mempercayai akan hal itu. Ternyata benar, matematika hanya membutuhkan beberapa kali analisis, menggunakan logika, berhitung dan memasukan rumus-rumus yang ada. Dengan kata lain don’t give up…!
 Jadi intinya mereka terlalu mempercayai, misteri pohon nangka yang tertanam di depan pojok rumahku. Ketakutan mereka mengakibatkan halusinasi akan wujud penunggu pohon nangka tersebut. Buktinya saja, aku dan keluargaku yang jelas-jelas tinggal di belakang pohon itu. Tidak pernah sekalipun melihat wujud penunggu pohon nangka. Semacam apa sih wujudnya? Pocong? gederuo? Kuntilanak?  Tuyul? atau setan-setan ekspor lainnya. Atau malah setan impor seperti vampire dan mumi? Akkhhh…! Masa bodoh… aku tak akan perduli, sekalipun aku melihatnya.
Tidak berapa lama ibuku datang menhampiri Ayah yang sedang asyik membaca koran, sebari membawa secangkir kopi yang masih hangat. Aku segera meletakan sapu lidi di tempat asalnya.
“Sudah selesai Ris…?” tanya Ayah sebari menyeruput kopinya.
“Udah sih! tapi lebih bagus lagi kalau pohon nangka ini di tebang,” kataku sedikit kesal sebari menyeka keringat yang bercucuran.
“Kebersihan pakal pandai lo Ris…”
“Kebersihan pakal kesal, dekil, kucel and the kumel. Itu lebih fakta Yah!”
“Anak zaman sekarang keringet sedikit aja, langsung pada protes. Lebih banyak keringet lebih bagus loh Ris….” aku hanya terdiam. Kalau aku berani melawan Ayah lagi. Kuping ku harus siap mendengarkan ceramahnya yang sepanjang sungai nil.
            “Tapi Yah kita memang lebih baik menebang pohon itu saja,” pinta Ibu. Ayah hanya diam masih asyik dengan korannya.
“Yah… ibu udah ndak kuat lagi, lebih baik kita tebang saja pohon nangka itu,“  ucapan ibu membuatku sumringah mendengarnya. Ternyata dream come true.
“Loh… loh…Ibu ini ada apa to? kenapa Ayah musti menebangnya. Ndak… Ayah ndak setuju. Pohon nangka itu sudah ada sejak Ayah masih kecil bu. Lagi pula buahnya sangat manis. Toh Karissa ini yang membersihkannya,“  ucapan Ayah membuatku kembali kecut.
“Bukan itu lo Yah… yang jadi masalah.”
“Terus apa to bu…?”
“Yang jadi masalah adalah penunggunya. Apa Ayah ndak mendengarnya?”
“Dengar apa?”
“ Kata para tetangga, pohon nangka itu ada penghuninya. Tebang sajalah yah… biar setannya minggat,“  ya ampun… kali ini ibuku sangat parno. Dan ia percaya saja dengan apa yang dikatakan orang-orang. Padahal aku yakin, tidak pernah terjadi hal yang janggal menimpa ibuku.
Ndak bu… toh kita ndak pernah di ganggu ini. Selama ini, kan… kita yang telah merawat pohon itu. Lagi pula setan itu ndak akan ganggu kalau kita ndak ganggu.”
“Kita Yah…? lebih tepatnya aku! Setannya memang gak ganngu, tapi sampahnya yang ganggu! Lagi pula, bukannya, hanya Karissa yang membersihkan Pohon nangka itu? Pohon nangka yang  hanya menghasilkan  rontokan dedaunan yang bertebaran memenuhi jalan-jalan dan comberan. Lagi-lagi, aku yang harus membersihkannya. Padahal buahnya saja hanya mucul 2 tahun sekali. Karissa rela membeli buah nangka yang manis untuk ayah, toh…! Hanya dua tahun sekali ini,“ ujarku protes.
“Iya Yah… aku ini takut apalagi kalau Ayah tidak ada di rumah,” kata Ibuku dengan sikap parnonya yang semakin menjadi.
”Oh… iya Yah… Karissa juga merasakannya Yah…”
“Tuh, kan Yah… kali ini anak kita juga meraskannya. Apa yang kamu lihat Ndok?” tanya ibuku.
“Melihat penunggu pohon nangka itu marah besar dalam mimpiku. Dan dia akan mengganggu pemiliknya,“ dustaku.
“Tuh… kan Yah… aku ndak mau sampai melihat penunggu pohon nangka itu. Ayo Yah… Ibu mohon tebang saja pohon itu, agar setannya minggat!”
“Baik Bu…! kalau begitu besok Ayah akan menebangnya,“  ucapan ayah membuat perasaanku seperti memenangkan undian lotre. Yes… yes… bebas nyapu…

***
H
alaman pojok depan rumahku yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Itu terlihat lebih bagus daripada aku harus bekerja rodi membersihkan pohon nangka yang tak kunjung berbuah. Ayah menebangnya dan hanya menyisakan batangnya setinggi  50 cm. Tapi semenjak kejadian itu, Dhika adiku yang masih berumur 2 tahun sering menangis tegah malam dan pagi hari. Dan aku juga sering bermimpi aneh. Mimpi yang sepertinya bersambung, dengan tokoh utama nenek-nenek yang tak juga aku kenali wajahnya. Hanya samar-samar, dan entahlah that is nihgmare for me. Entah mengapa setiap saat aku tidur, maka saat itulah aku bertemu dengannya.
Dalam mimpiku, ya dalam mimpiku selalu saja di datangi nenek-nenek berambut putih. Mungkin semasa mudanya rambutnya tidak putih, karena termakan usia kini rambunya beruban. Aku bisa memperkirakan umurnya sudah ratusan tahun. Terlebih ia mengenakan gaun, yang biasa di pakai oleh wanita muda pada zaman belanda, tentu saja background-nya terlihat lebih kuno. Masih teringat dalam mimpiku, ia duduk di samping kolam ikan, dengan air yang bergemercik dan ia sedang menyisir rambutnya yang panjang di sisi kolam. Ia berdiri membelakangiku, karena itu aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.  
Came here… girl… came here, please…” pinta nenek impor belasteran belanda itu, tapi berbahasa English. Ya… mungkin saja wajahnya impor. Rasanya sih! begitu, tapi sungguh aku takut melihat wajahnya. Dan aku hanya dapat menerka-nerka wajahnya.
“Saya?” tanyaku, sebari menunjuk batang hidungku dengan telunjuk tangan kananku. Lalu ia mengangukan kepala, masih dengan menyisir rambutnya.
Liste to me, please…
“Ya…?” tanyaku sebari melangkah untuk menghampirinya.
What your name?”
“My name is___”
“Are you Karissa?” nenek itu memotong pembicaraanku, dan ia mengenaliku.
“Bagaimana nenenk dapat mengenali saya?” tanyaku, tapi nenek itu hanya diam lalu tertawa. Apa karena ia sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia?
Can you speak Indonesia?” tanyaku semakin penasaran, siapa sebenarnya nenek itu.
No… I can’t speak Indonesia. Can you speak English, please?”
“Yes… I can speak English a little,” jawabku lebih tenang.
Please say it in English. My house… hhmmm ya… my house, can you help me? Please… help me?”
“ Ya… I can help you, but  please can you tell me, what happened?”
“Give it to me?”
“What?”
“Please, give it to me. I’d like it,” ujar nenek itu, kedengarannya ia marah, aku dapat merasakan dari nadanya berbicara. Sementara aku masih tak mengerti apa maksudnya. Maksudku apa yang bisa ku berikan padanya? Sungguh aku masih tak mengerti.
What do you what?” tanyaku, lalu aku kembali terbangun dari tidurku.
Aku mengucek ke dua mataku. Kenapa nenek itu selalu datang seperti nightmare. Akkhhhh….!!! Aku segera berjalan menuju kamar mandi lalu membasuh wajahku dan mengeringkannya dengan handuk. Ku lihat jam din-ding tepat menunjukan pukul 02:00 WIB. Aku kembali meraih selimutku. Dalam balutan selimut, tubuhku begitu hangat. Lalu aku kembali terlelap tidur.
What do you want?” tanyaku sungguh tak mengerti, apa sih! maunya nenek impor itu? Ya mungkin aku dapat membantunya, dan sungguh aku ingin membantunya. Aku menghampirinya, memberanikan diri melihat wajahnya.
Grandmother…. I can help you but I don’t understand everything,” kataku, lalu ia memalingkan wajahnya ke arahku. Nenek itu memang lebih tinggi dariku, dan sungguh aku takut melihat wajahnya. Aku hanya menundukan kepala dengan tubuh yang terus gemetar.
I need of my house, look at me,please…?” pintanya, bagaimana ini? Aku takut melihat wajahnya. Berlahan-lahan aku memberanikan diri melihat wajahnya. Dia cantik… bahkan di umur tuanya dia tetap cantik. Tapi dari wajahnya begitu menyiratkan kesedihan. Ya… dia memiliki rumah dan dia membutuhkan rumahnya. Tapi apa yang dapat ku bantu untuk nenek impor  itu. 
Will you help me?”
“Yes, what must I do?” tanyaku tak mengerti apa yang harus ku lakukan, agar rumahnya kembali padanya.
Let me stay of my house?” kali ini nenek impor itu meneteskan air matanya. Aneh… jika itu memang rumahnya, lalu kenapa harus minta izin padaku. Memang aku makelar tanah yang merampas rumahnya?
Surely, yes…” kataku, berharap ia tak lagi menangis. Padahal aku masih belum mengerti apa maksudnya.
I have lost of my house…” sebenarnya aku yang nggak ngerti English? atau nenenk impor ini yang ngomongnya ngaco sih! Ya… ku akui, aku paling benci bahasa English. Nilai English grammar-ku saja di bawah rata-rata. Tapi bagaimana mungkin dia bisa kehilangan rumahnya. Dan sekali lagi aku bukan makelar tanah yang merampas rumahnya. Lalu apa yang dapat ku bantu untuknya. Akkhhh… please stop nenek impor!!! Dia kasih teka-teki bukan horizontal atau vertical, tetapi diagonal yang memicu otakku terus berputar-putar. 
Can you tell me, where do you live? Is it near here?” tanyaku ingin tahu dimana rumah nenek impor ini.
Yes… not far from here,” katanya sebari menyeka air matanya. Syukurlah, paling gak aku harus tahu dimana dia tinggal, untuk memastikan bagaimana cara aku membantunya.
Ready to go now?” kali ini nenek impor itu tersenyum senang.
Yes… I’m ready to, come on! Lest go,” aku berjalan penuh semangat mengikuti langkah kemana nenek-nenek itu pergi. Aku menyusuri jalan dan di sebelah kanan ku terlihat sungai dengan air yang mengalir segar. Tidak berapa lama aku melihat rumah. Rumah itu begitu indah dengan design bergaya rumah kuno belanda pada zaman dulu. Aku masih mengingatnya saat melihat film dokumentar penjajahan belanda saat pelajaran sejarah berlangsung.
I live here and I shall stay here,” aku mengangguk mengerti. Tapi yang membuatku bingung. Apa yang dapat ku lakukan untuk membantunya. Mengapa dari tadi aku hanya melihat nenek impor itu saja. Dimana makelar rumah yang merampas rumahnya? Apa dia tinggal sendiri? tak satupun aku melihat manusia lain selain  nenek impor itu.
Come on…” nenek impor itu mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Lalu aku kembali mengikuti kepergiannya. Sesampainya dirumahnya. Aku rasa ini benar rumah zaman
Belanda. Tapi nenek impor itu bilang kehilangan rumahnya. Bukankah ini rumahnya dan dia dengan mudah masuk tanpa ada yang melarangnya. Aku masih belum mengerti, mana makelar tanahnya? Uhhhh… bahasa English membuat ku jadi gak nyambung kali ya? Tapi sejauh itu aku mengerti apa yang nenek itu katakan. Bahwa dia kehilangan rumahnya dan aku tak tahu siapa yang merampas rumahnya.
Please… sit down,“ pintanya lalu aku duduk.
How beautiful, it’s a nice place…” ia menari-menari seperti Cinderella, sebari memandang atap rumahnya.
Allow me to live here, please?” pintanya membuatku mengerenyitkan dahi. Sejak kapan sih! aku memiliki rumahnya? Dan aku bukan makelar tanah? Sungguh… lalu kenapa dia meminta izin padaku?
What do you mean?” tanyaku.
“Why do you get rid of my house? Why…?
Get rid?” aku masih bingung apa yang dia katakan adalah menyingkirkan. Aku menyingkirkan rumahnya?
I disturbing you?”
No…” kataku menggelengkan kepala.
I don’t know how to say thank you. Stay where you are, don’t movel,“ pintanya.  
Ok…! I stay here.”
Aku terperejat kembali terbangun. Ternyata aku kembali bermimpi, dan lagi-lagi nenek impor itu yang ada dalam mimpiku. Saat ku lihat jam menunjukan pukul 05:00 WIB. Aku melipat selimut dan merapihkan tempat tidurku. Tidak berapa lama aku mendengar Dhika menangis. Dan itu sudah biasa ku dengar di pagi hari atau di tengah malam. Aku jadi berpikir, apa mimpiku dan tangisan Dhika ada kaitannya dengan penunggu pohon nangka tersebut. Akkrrhhh kenapa aku jadi mempercayainya. Mempercayai cerita kolot yang tidak terbukti kebenarannya. Tapi mengapa kejadian janggal yang menimpaku dan Dhika, terjadi setelah pohon nangka itu di tebang oleh Ayah.

***
A
ku duduk di teras depan rumah sebari memandang batang pohon nangka sisa di tebang minggu lalu oleh Ayah. Tiba-tiba seorang kakek-kakek berjalan memandangi pohon nangka tersebut. Tubuhnya yang tua mungkin tidak lagi sanggup berjalan dengan baik. Kakek itu berjalan berlahan-lahan seperti siput dengan tongkat yang membantunya untuk berjalan. Aku menghampirinya, hah… itukan kakek yang tinggal di seberang jalan. Ia memang lebih sering diam di rumah. Dan aku cukup mengenalinya.
“Siang kek…” kataku terseyum lalu ia membalas senyumanku.
“Apa Olive tidak marah padamu?” tanya kakek itu membuatku kembali mengerenyitkan dahi.
“Siapa kek, Olive….?”
“Bertahun-tahun dia tinggal di situ,” apalagi sih! kakek ini masih waraskan? Siapa Olive? Apa dia nenek uyutku. Rasanya tidak ada nenekku yang bernama Olive. Lagipula Ayah dan Ibuku keturunan Solo. Nama Olive kedengarannya aneh untuk wong jowo.
“Siapa kek? Jangan bilang penunggu pohon nangka? Kakek percaya dengan cerita nonfakta itu?”
“Dulu kakek masih kecil, dan kakek ini masih mengingatnya.”
“Mengingat siapa?”
“Mengingat wanita belanda yang cantik dan tinggal cukup lama. Bahkan ia meninggal dan di kubur di bawah pohon nangka itu. Namanya Olive…” aku terdiam. Bulu kundukku sontak berdiri.
“Apa benar kek cerita itu?”
“Ya benar… Nona Olive, istri dari salah satu orang belanda. Ia di bunuh oleh suaminya sendiri.”
“Setega itu?”
“Semua penjajah memang tega membunuh bukan?”
“Lalu Olive, kenapa dia di bunuh kek? “
“Karena Olive ketahuan oleh suaminya. Suaminya tahu kalau selama ini, diam-diam  Nona Olive membebaskan para tawanan.”
“Jadi dia wanita yang baik, ya kek?”
“Tentu…”
“Lalu kenapa ia berani mengganngu orang yang kebetulan lewat tengah malam?”
“Dia tidak akan mengganggu orang baik-baik. Percayalah itu! Kamu harus hentikan kemarahannya.”
“Bagaimana caranya?”
“Seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
“Sungguh kek, pohon nangka ini sangat mengganggu, “ujarku memberikan alasan.
“Baiklah, adikmu akan terus menangis.”
“Apa itu ada kaitannya?”
“Kenapa anak muda zaman sekarang bengitu tak menghargai sejarah!!!!” aku terdiam, kali ini aku sadar kakek itu marah besar. Lalu ia pergi begitu saja.
***
S
ial….!!! ini seperti buah simalakama. Apalagi sih! apa harus aku mempercayainya? Tapi mimpi itu sepertinya bukti nyata. Syukurlah seminggu sudah, aku tak lagi bermimpi tentang nenek impor itu. Tapi Dhika masih terus menangis di tengah malam dan di pagi hari. Aku jadi kasihan melihatnya, tapi apa yang harus kulakukan? Pohon nangka itu terlanjur di tebang. Uh… kakek di sebrang jalan itu juga masih marah padaku dan tak mau memberi tahu bagaimana  caranya, agar Dhika tak lagi menangis. Rasanya aku ingin sekali bertemu dengan nenek impor itu, yang ku rasa dia adalah Olive. Wanita belanda yang kini sudah tua, tapi masih terlihat cantik. Sayup-sayup angin membuatku menguap. Uakkkh…hhh
Aku duduk, dan menunggunya. Menunggu nenek impor yang tidak juga kembali.
Open quickly and see…” pintanya tiba-tiba membuatku kaget. Ia berdiri tepat di belakangku dengan membawa kotak kecil berukuran 5x10 cm.
“Ok…” kataku lalu mengambil kotak itu dan berlahan-lahan membukanya. Aku melihatnya, melihat isi kotak itu penuh dengan pupuk.
Help me…”
“What must I do?”
“Take care of my house?
Please excuse my rudeness, I didn’t do it on purpose. It’s my fault…” aku meminta maaf. Dan sekarang aku mengerti. Rumah yang dia maksud adalah pohon nangka itu. Dan tak salah lagi, nenek impor itu pasti Olive.
“No problem, I didn’t mean to hurt you.”
“Yes I know… “
“Thank you so much.”
“Ok…”
“My name is Olive.”
Aku terbangun lalu mengucek kedua mataku. Uh… mimpi yang ku rasakan seolah nyata adanya. Ternyata benar  apa yang dikatakan kakek diseberang jalan itu. Kalau Olive bukanlah hantu yang jahat.
“Ibu…?” ucapku sedikit kaget, melihat Ibu berdiri di depanku. Ternyata ia yang membangunkanku.
“Ndok… ndok… kalau mau tidur itu di kamar, bukan di kursi teras. Apa ndak malu di lihat sama orang di luar sana?”
“Bu kita harus merawat pohon nangka itu?” pintaku tiba-tiba membuat Ibu bingung.
“Loh piye to ndok… kamu ini bagaimana? Katanya kita lebih baik menebangnya saja?”
“Ibu tahu kenapa Dhika menangis?”
“Ndak, memang kenapa, to? bukannya Dhika memang rewel?”
“Bukan bu, biasanya anak kecil dapat melihat makhluk-makhluk halus.”
“Duh…!!! kamu jangan buat ibu merinding. Kamu kebanyakan tidur sih!”
“Gak… bu aku serius… kita harus merawat pohon nangka itu. Gak apa-apa, aku rela membersihkannya setiap hari.”
“Baik… baik… ya sudah, kalau itu dapat membuat Dhika nggak rewel, ibu setuju saja. Tapi apa benar pohon nangka itu ada penghuninya?”
“Iya bu… tapi tenang saja. Penunggu pohon nangka itu ndak jahat kok bu…” ujarku lalu Ibu mengangguk setuju dengan raut wajah yang ketakutan.

***

Istilah :

Ndak   = Gak/Tidak
Rewel  = Nakal
Ndok   = Sebutan anak perempuan dalam bahasa jawa.
Minggat = Pergi
Sumringah = Senang sekali