Kamis, 27 Januari 2011

Cerpen Rahasia Dibalik Buku Catatan

Oleh : Vivi Yulianti
Kupandangi wajahnya dari kejauhan, sesekali ia tersenyum lalu berbincang dengan seorang lelaki yang tengah duduk disampingnya. Aku tak pernah bosan memandangi senyumannya, meskipun kusadari senyumannya bukanlah untukku. Lalu sejenak aku berpikir, akankah senyumannya abadi? Kusingkirkan ketakutanku akan senyumannya yang fana. Diam-diam kupandangi lagi wajahnya yang ayu, seolah tak ingin sedetik pun kehilangan senyumannya. Senyuman Kemuning, laksana obat dari pahit gertirnya kehidupanku. Kembali kupandangi senyumannya, maka saat itupun aku tersadar, akan keadilan hidup yang nyata adanya.
Sial….!!!! berakhir sudah senyumannya, saat lelaki disapingnya tiba-tiba bangkit dari bangku kayu, lalu sekejap wajah Kemuning menghilang dibalik lelaki bertubuh tinggi kekar berambut spike. Aku hanya dapat bermurah durja ketika lelaki itu memegang lengan Kemuning, dan mengajaknya beranjak pergi meninggalkan bangku kayu di bawah pohon karet yang lebat dan rimbun daunnya. Entah kemana mereka pergi? Sosok Kemuning kini telah menghilang. Aku tak sampai hati mencintainya, sekalipun aku sangat membutuhkannya, sama seperti aku membutuhkan udara untuk bernapas. Aku hanyalah berandal jalanan, yang menggantungkan nasib dengan cara menjajakan suara dari bis ke bis, atau dari jalan ke jalan. Sungguh tak sampai hati aku mencintainya, sementara aku tahu persis, berjuta pasang bola mata insan disana juga memusatkan pandangan hanya tertuju pada Kemuning seorang. Pandangan mata, yang menyiratkan rasa cinta dan berharap memasuki relung hatinya. Jujur kukatakan, akulah salah satu insan tersebut, yang menyimpan harapan besar untuk dapat singgah di relung hatinya. Namun segera kuenyahkan perasaan itu jauh-jauh, karena harapan akan hal itu hanyalah sebesar lubang jarum. Tidak…! Bukan lubang jarung, tapi aku benar-benar tak memiliki celah sedikitpun memasuki relung hatinya. Ku patahkan semangatku sendiri, dan kuredam amarahku.
***
Kupandangi lekat-lekat buku catatan berwarna merah muda, tanpa sengaja aku menemukannya di Halte kamarin lusa. Di bagian cover buku catatan tersebut, tertulis indah nama seorang gadis yang selalu singgah di relung hatiku. Namanya kini telah terukir, dan terpahat penuh warna, seolah telah mendarah daging dalam kalbuku, dan selalu datang menghantui pikirku. Kemuninglah pemiliknya, gadis cantik yang kugandrungi namun tak mungkin kumiliki, sekalipun aku terlahir dari kaum bangsawan. Kuletakan buku itu di atas meja, sebenarnya aku berniat mengembalikannya tadi siang, tapi aku tak berhak mengganggu kencannya dengan seorang lelaki berambut spike, yang begitu beruntung dapat memilikinya. Maka kuputuskan mencarinya, dan mengembalikannya besok pagi.
Kali ini kedua bola mataku tertuju pada gitar butut, yang menjadi saksi bisu gelap dan perihnya hidupku. Selain itu, gitar butut itulah yang telah mempertemukanku dengan Kemuning, saat aku menjajakan suaraku di bis kota. Bertahun-tahun lamanya aku tampak seperti pahlawan yang kerap melindunginya. Selain ibunya yang bersikap seperti malaikat, akulah yang selalu mengusap tetesan air matanya, dan memeluknya agar ia tak lagi menangis. Dimana letak kesalahanku? Aku tak bisa menyalahkan takdirku, karena telah terlahir dari rahim seorang wanita simpanan. Atau membenci seorang lelaki hidung belang, yang tak sabar menanti buah hatinya, yang tak kunjung datang dan terlahir dari rahim istri syahnya. Semua berjalan begitu saja, aku hanyalah anak ingusan kala peristiwa aral itu berlangsung. Yang kutahu, lelaki hidung belang itu, mengusir aku dan ibuku jauh-jauh dari Kemuning. Hingga aku beranjak dewasa, dan tak lagi kujumpai sosok peri penerang jiwaku. Yang selalu terbayang dalam ingatanku adalah kesalahan terbesar ibuku yang tega menyakiti Ibunya Kemuning. Tanpa merasa bersalah ibuku merusak kebahagiaan keluarga mereka padahal dulu kami bertetangga.
Tuhan telah kembali mempertemukanku dengannya, namun jika boleh ku mengubah sedikit garisan ilahi, tak ingin rasanya aku menjalani takdir keputusan ilahi ini. Sudah lama sekali, aku mengubur kisah silam hidupku. Bahkan ibuku kini telah terkujur kaku, lemah tak berdaya tanpa hembusan nafas dan detakan jantung. Aku terbiasa hidup sebatang kara, dan berharap tak lagi mengingat kisah silam yang kusirnakan dalam goresan waktu. Namun sungguh, tak dapat kupungkiri, redupnya kisahku seolah kembali terang benderang kala kutatap peri penerang jiwaku. Perasaanku pun melayang, ketika Kemuning menyapaku pertama kali, setelah bertahun-tahun lamanya, kami terpisahkan waktu dan tempat. Ia masih mengingatku dan menyapaku begitu yakin, seolah aku masih tetap menjadi pahlawan hidupnya. Padahal aku tak begitu yakin, kalau gadis manis yang kerap menikmati suara kaleng rombengku, dan memberiku pecahan uang lima ribu rupiah, adalah Kemuning tokoh kisah silam hidupku.
Kuraih gitar, yang kusimpan di sebelah buku catatan peri kecilku, brukkkk…!!! Tanpa sengaja gitar butut menggeser buku catatan itu, lalu terjatuh dilantai. Aku mengambilnya dan terlonjak kaget, saat namaku tertulis indah dalam guratan pena di bagian tengah lembaran buku catatan yang terbuka lebar. Apa yang harus kulakukan? Apa… harus aku membacanya? Atau lebih baik kututup rapat-rapat dan menyimpannya? Tapi apa yang ia tuliskan tentangku? Mengapa ada namaku dalam buku catatannya? Sial….!!!! apa yang harus ku perbuat? Seketika tubuhku tak mampu bergerak, terdiam, mematung, dan tak sanggup membacanya. Pikiranku semakin berkecambuk, bagaimana bila lembaran buku catatannya hanya menuliskan kekecewaannya terhadapku? Karena pahlawan masalalunya, kini berakhir menjadi berandal jalanan. Aku tak mampu membacanya, namun kupaksakan karena rasa penasaranku begitu memuncak. Kutarik nafas dalam-dalam dan kukeluarkan perlahan-lahan. Aku harus membacanya…!

***
Tak seharusnya kutemukan buku catatannya, lembaran demi lembarannya hanya menceritakan kebodohan seorang gadis cantik, yang kupikir pintar! Kemuning manusia konyol…! Berotak kerdil, dan bersikap seperti orang idiot. Kutarik kesimpulan, ia manusia terbodoh yang pernah kukenal. Untuk apa ia mencari ilmu, hingga bergelarkan Sarjana di salah satu Universitas Negeri di Jakarta, jika rasionya tak berjalan dengan baik. Kutukan apa yang bersarang dalam hidupnya? Hingga ia tak menggunakan akal sehatnya. Itu dia gadis konyol yang tersenyum manis dan datang menghampiriku.
“Kak…,“ ia menyapaku, dan memberikan sekotak susu kemasan.
“Ayo… ambil,“ pintanya, sementara aku hanya terdiam. Kutatap wajahnya yang ayu, lalu aku tersenyum dan mengambil sekotak susu kemasan tersebut. Aku memberanikan diri memberikan buku catatannya.
“Lain kali jangan sampai ketinggalan, ya!” ujarku, setengah memarahinya.
“Kenapa buku ini bisa ada di Kakak?” ia terlihat bingung seraya memandang buku catatannya lekat-lekat memastikan bahwa itu benar-benar miliknya.
“Gue temuin itu di Halte,” ku pandangi lagi wajah Kemuning, kali ini ia terlihat menahan malu dengan wajahnya yang memerah.
“Tapi tenang aja, gue gak baca buku itu kok,” ujarku, dan kali ini ku pandangi wajah Kemuning yang tersenyum lega. Aku terpaksa berbohong, aku tahu ia pasti malu mengakuinya atau mungkin ia ragu mengakuinya karena aku hanyalah berandal jalanan.
Tiba-tiba sebuah mobil Honda jazz berhenti, tepat di depan kami. Lagi-lagi lelaki berambut spike itu muncul dihadapanku, lelaki yang kupikir kekasih Kemuning, tapi tidak setelah ku membaca buku catatan Kemuning. Ia tersenyum dan turun dari mobilnya lalu datang menghampiri kami. Semakin dekat lelaki itu semakin tampan, dengan style diatas rata-rata, belum lagi tubuhnya yang kekar tinggi semampai layaknya atlet basket. Dapat kupastikan itulah pria idaman wanita.
“Kenno…,” ujarnya memperkenalkan diri.
“Gara…,” jawabku, lalu kami saling berjabat tangan.
“Maaf, gue musti pergi, mungkin lain waktu kita bisa ketemu lagi,“ ujarku, seraya pergi meninggalkan mereka berdua.
“Tunggu…!” Kenno, menghalangi kepergianku.
“Kemuning banyak cerita tentang Mas, bagaimana perasaan Mas sendiri?” tanya Kenno sedikit berbisik. Aku terdiam lalu menatap Kemuning, ia terlihat begitu mengamati Kenno.
“Ada apa, Ken? Jangan halangi Kak Gara, dia memang harus pergi,” ujar Kemuning. Aku yakin Kenno begitu mencintai Kemuning, akupun mencintai Kemuning. Tapi tidak…!!!! Aku harus katakan yang sebenarnya. Tapi tidak di tempat ini, suasananya gaduh dan banyak orang, ya… aku harus katakan dan mengubur rasa cintaku sekalipun aku membutuhkannya!
“Bisa kita bicara, sepulang kalian kuliah?” Kemuning tersenyum, sementara Kenno menganggukan kepala bertanda setuju.

***
Kutemui mereka seperti pintaku, namun tak kutemukan gadis pujaan hatiku. Yang nampak hanyalah sosok Kenno yang sedang berdiri dan bersandar di mobilnya. Ia menyambutku dengan senyumannya, seolah aku sudah berteman lama dengannya. Padahal aku tahu persis ia begitu mencintai Kemuning, dan aku pun yakin ia mengetahui perasaan Kemuning yang sesungguhnya terhadap diriku. Namun dalam guratan wajahnya tak nampak sedikit pun kebenciannya terhadapku.
“Mana Kemuning?” tanyaku seraya menghampirinya.
“Di perpus, lagi cari bahan referensi. Gue berharap bisa nemenin dia, tapi dia suruh gue, cepet-cepet nemuin lo.”
“Sorry, gue telat ya?”
“Gak apa-apa, santai aja lagi. Kemuning juga masih di perpus. Oh, ya… ada yang mau dibicarakan sama Kemuning atau sama gue?”
“Baik Kemuning atau pun lo, kalian berdua harus sama-sama tahu. Rokok?” aku menyodorkan sebungkus rokok.
“Sorry, udah lama gue berhenti ngeroko. Mungkin benar cinta bisa mengubah segalanya, gue berubah 360 derajat karena Kemuning.”
“Gue percaya lu mencintai Kemuning.”
“Bukan sekedar cinta, tapi gue jauh lebih membutuhkannya. Sama seperti gue dulu yang gak bisa lepas dari obat-obatan terlarang, tapi gak…! Setelah gue lebih membutuhkan Kemuning. Jangankan obat, nikotin aja sekarang gue nggak berani nyentuh.”
“Lalu apa perasaan Kemuning terhadap, lo?”
“Gak ada, selain menganggap gue sebatas sahabat. Cinta itu bengis, karena Kemuning gak bisa terima gue. Tapi gue berharap dia bisa bahagia, sekalipun bukan gue sosok yang beruntung itu. Gue cukup tau siapa sosok beruntung itu,” aku hanya terdiam mendengar kisahnya, meskipun Kenno bersikap selengean dan bengal, tapi dari ketulusan hatinya, dia pantas mendapatkan Kemuning.
Tak berapa lama, Kemuning datang menghampiriku. Kemuning gadis cantik sempurna, ia selalu mengenakan busana sederhana dan jauh dari kesan glamour. Mike up-nya pun jauh dari kesan menor, kecantikannya begitu original. Kelembutan hatinya selalu terpancar lewat senyuman manisnya, yang membuat denyut nadiku berdetak kencang, saat manatap parasnya yang tak ada bandingannya.
“Maaf… aku sedikit telah, ya?” ujar Kemuning seraya tersenyum seperti biasanya.
“Gak apa-apa, kok. Oh… ya Kemuning, gue datang kesini mau minta maaf.”
“Maaf?”
“Ia maaf, gue lancang.”
“Tentang apa?”
“Buku catatan.”
“Loh… jutru aku mau ucapin makasih, karena kakak udah nemuin dan ngembaliin buku catatan ini.”
“Tadi gue bohong, isi sebagian dari buku itu… gue… udah baca. Lo…. Gak marah, kan?”
“Kakak memang harus baca!!!!” aku terkejut, bukan karena bentakan suaranya tapi lebih kepada maksud ucapannya, yang membuatku bingung harus berkata apa. Kupalingkan wajahku dan ku lihat Kenno, ia tersenyum pasrah seraya menganggukan kepala.
“Tapi, setelah gue baca buku catatan itu, lo benar-benar wanita yang paling bodoh yang pernah gue temui. Apa yang lo harapkan dari gue? Apa selera lo, berandal jalanan? Selera rendahan! Maaf, Gue gak bisa mencintai lo!” seketika tinjuan Kenno bersarang di wajahku, keseimbanganku mendadak hilang dan terhuyung hingga terjatuh, lalu darah segar mengalir di kedua lubang hidung dan bibirku. Kutatap wajah Kemuning, kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak kuasa menahan kesedihannya, lalu ia menyeka air mata yang membasahi pipinya. Kenno menarik kaus belelku, menyuruhku bangkit.
“DENGAR YA, GARA…!!! Lo… akan mati membusuk, kalau sekali lagi lo berani bentak dan bilang Kemuning bodoh!” bentak Kenno, ia begitu marah tak menerima perlakuanku terhadap Kemuning.
“Buku catatan itu buktinya!”
“Benar… lo gak pantas buat dia, gue jauh lebih pantas ketimbang lo! Tapi dia mencintai lelaki dungu seperti lo…! dia memiliki perasaan yang lebih terhadap lo ketimbang gue yang dia anggap sebatas teman,” ujar Kenno seraya melepaskan kaos belelku dari gengamannya dan mendorong pundakku sekuat tenaga. Aku kembali terhuyung hingga terjatuh, ku lihat kemuning berniat beranjak pergi meninggalkanku, namun aku segera bangkit, kutarik lengannya dan kupeluk tubuhnya.
“Maaf Kemuning, karena gue telah terlahir menjadi anak haram dari rahim seorang wanita simpanan, yang tak lain ibu gue sendiri. Dan rahasia besar yang harus lo dengar, sekalipun itu sangat menyakitkan. Bahwa… Ayah lo, yang membuat gue terlahir di dunia ini,” perlahan-lahan Kemuning melepaskan pelukanku, ia masih tak percaya dengan ucapanku.
“Bohong…!!!”
“Gue, gak bohong…!”
“Sebelumnya aku tahu, Kak…!!! tapi kuharap itu hanyalah bualan besar yang ibuku karang. Jadi itu benar?”
“Ya… itu benar, gue mencintai lo seperti seorang kakak yang mencintai adiknya, sekalipun kita tidak terlahir dari rahim yang sama,” jawabku santai, lalu Kemuning kembali memelukku.
“Lo tetap adik gue, karena kita terlahir dari Ayah yang sama.” Sungguh hanya itu yang dapat kulakukan, sekalipun aku membutuhkannya. Ku korbankan rasa cintaku, karena bagaimanapun kami memiliki hubungan sedarah, yang tak mungkin dipersatukan lewat ikatan pernikahan. Aku tidak terlahir dari zaman pasangan Qabil dan Labuda atau Habil dan Iqlima. Karnanya aku tak mau Tuhan murka terhadapku, sekalipun aku berandal jalanan.
***

1 komentar:

  1. terus berkarya. meski ga ada follower. kerja ikhlas itu lebih bikin hati PLONG dan BEBAS berkarya sampai DILUAR BATAS. SPIRIT.

    BalasHapus