Kamis, 27 Januari 2011

Cerpen Rahasia Dibalik Buku Catatan

Oleh : Vivi Yulianti
Kupandangi wajahnya dari kejauhan, sesekali ia tersenyum lalu berbincang dengan seorang lelaki yang tengah duduk disampingnya. Aku tak pernah bosan memandangi senyumannya, meskipun kusadari senyumannya bukanlah untukku. Lalu sejenak aku berpikir, akankah senyumannya abadi? Kusingkirkan ketakutanku akan senyumannya yang fana. Diam-diam kupandangi lagi wajahnya yang ayu, seolah tak ingin sedetik pun kehilangan senyumannya. Senyuman Kemuning, laksana obat dari pahit gertirnya kehidupanku. Kembali kupandangi senyumannya, maka saat itupun aku tersadar, akan keadilan hidup yang nyata adanya.
Sial….!!!! berakhir sudah senyumannya, saat lelaki disapingnya tiba-tiba bangkit dari bangku kayu, lalu sekejap wajah Kemuning menghilang dibalik lelaki bertubuh tinggi kekar berambut spike. Aku hanya dapat bermurah durja ketika lelaki itu memegang lengan Kemuning, dan mengajaknya beranjak pergi meninggalkan bangku kayu di bawah pohon karet yang lebat dan rimbun daunnya. Entah kemana mereka pergi? Sosok Kemuning kini telah menghilang. Aku tak sampai hati mencintainya, sekalipun aku sangat membutuhkannya, sama seperti aku membutuhkan udara untuk bernapas. Aku hanyalah berandal jalanan, yang menggantungkan nasib dengan cara menjajakan suara dari bis ke bis, atau dari jalan ke jalan. Sungguh tak sampai hati aku mencintainya, sementara aku tahu persis, berjuta pasang bola mata insan disana juga memusatkan pandangan hanya tertuju pada Kemuning seorang. Pandangan mata, yang menyiratkan rasa cinta dan berharap memasuki relung hatinya. Jujur kukatakan, akulah salah satu insan tersebut, yang menyimpan harapan besar untuk dapat singgah di relung hatinya. Namun segera kuenyahkan perasaan itu jauh-jauh, karena harapan akan hal itu hanyalah sebesar lubang jarum. Tidak…! Bukan lubang jarung, tapi aku benar-benar tak memiliki celah sedikitpun memasuki relung hatinya. Ku patahkan semangatku sendiri, dan kuredam amarahku.
***
Kupandangi lekat-lekat buku catatan berwarna merah muda, tanpa sengaja aku menemukannya di Halte kamarin lusa. Di bagian cover buku catatan tersebut, tertulis indah nama seorang gadis yang selalu singgah di relung hatiku. Namanya kini telah terukir, dan terpahat penuh warna, seolah telah mendarah daging dalam kalbuku, dan selalu datang menghantui pikirku. Kemuninglah pemiliknya, gadis cantik yang kugandrungi namun tak mungkin kumiliki, sekalipun aku terlahir dari kaum bangsawan. Kuletakan buku itu di atas meja, sebenarnya aku berniat mengembalikannya tadi siang, tapi aku tak berhak mengganggu kencannya dengan seorang lelaki berambut spike, yang begitu beruntung dapat memilikinya. Maka kuputuskan mencarinya, dan mengembalikannya besok pagi.
Kali ini kedua bola mataku tertuju pada gitar butut, yang menjadi saksi bisu gelap dan perihnya hidupku. Selain itu, gitar butut itulah yang telah mempertemukanku dengan Kemuning, saat aku menjajakan suaraku di bis kota. Bertahun-tahun lamanya aku tampak seperti pahlawan yang kerap melindunginya. Selain ibunya yang bersikap seperti malaikat, akulah yang selalu mengusap tetesan air matanya, dan memeluknya agar ia tak lagi menangis. Dimana letak kesalahanku? Aku tak bisa menyalahkan takdirku, karena telah terlahir dari rahim seorang wanita simpanan. Atau membenci seorang lelaki hidung belang, yang tak sabar menanti buah hatinya, yang tak kunjung datang dan terlahir dari rahim istri syahnya. Semua berjalan begitu saja, aku hanyalah anak ingusan kala peristiwa aral itu berlangsung. Yang kutahu, lelaki hidung belang itu, mengusir aku dan ibuku jauh-jauh dari Kemuning. Hingga aku beranjak dewasa, dan tak lagi kujumpai sosok peri penerang jiwaku. Yang selalu terbayang dalam ingatanku adalah kesalahan terbesar ibuku yang tega menyakiti Ibunya Kemuning. Tanpa merasa bersalah ibuku merusak kebahagiaan keluarga mereka padahal dulu kami bertetangga.
Tuhan telah kembali mempertemukanku dengannya, namun jika boleh ku mengubah sedikit garisan ilahi, tak ingin rasanya aku menjalani takdir keputusan ilahi ini. Sudah lama sekali, aku mengubur kisah silam hidupku. Bahkan ibuku kini telah terkujur kaku, lemah tak berdaya tanpa hembusan nafas dan detakan jantung. Aku terbiasa hidup sebatang kara, dan berharap tak lagi mengingat kisah silam yang kusirnakan dalam goresan waktu. Namun sungguh, tak dapat kupungkiri, redupnya kisahku seolah kembali terang benderang kala kutatap peri penerang jiwaku. Perasaanku pun melayang, ketika Kemuning menyapaku pertama kali, setelah bertahun-tahun lamanya, kami terpisahkan waktu dan tempat. Ia masih mengingatku dan menyapaku begitu yakin, seolah aku masih tetap menjadi pahlawan hidupnya. Padahal aku tak begitu yakin, kalau gadis manis yang kerap menikmati suara kaleng rombengku, dan memberiku pecahan uang lima ribu rupiah, adalah Kemuning tokoh kisah silam hidupku.
Kuraih gitar, yang kusimpan di sebelah buku catatan peri kecilku, brukkkk…!!! Tanpa sengaja gitar butut menggeser buku catatan itu, lalu terjatuh dilantai. Aku mengambilnya dan terlonjak kaget, saat namaku tertulis indah dalam guratan pena di bagian tengah lembaran buku catatan yang terbuka lebar. Apa yang harus kulakukan? Apa… harus aku membacanya? Atau lebih baik kututup rapat-rapat dan menyimpannya? Tapi apa yang ia tuliskan tentangku? Mengapa ada namaku dalam buku catatannya? Sial….!!!! apa yang harus ku perbuat? Seketika tubuhku tak mampu bergerak, terdiam, mematung, dan tak sanggup membacanya. Pikiranku semakin berkecambuk, bagaimana bila lembaran buku catatannya hanya menuliskan kekecewaannya terhadapku? Karena pahlawan masalalunya, kini berakhir menjadi berandal jalanan. Aku tak mampu membacanya, namun kupaksakan karena rasa penasaranku begitu memuncak. Kutarik nafas dalam-dalam dan kukeluarkan perlahan-lahan. Aku harus membacanya…!

***
Tak seharusnya kutemukan buku catatannya, lembaran demi lembarannya hanya menceritakan kebodohan seorang gadis cantik, yang kupikir pintar! Kemuning manusia konyol…! Berotak kerdil, dan bersikap seperti orang idiot. Kutarik kesimpulan, ia manusia terbodoh yang pernah kukenal. Untuk apa ia mencari ilmu, hingga bergelarkan Sarjana di salah satu Universitas Negeri di Jakarta, jika rasionya tak berjalan dengan baik. Kutukan apa yang bersarang dalam hidupnya? Hingga ia tak menggunakan akal sehatnya. Itu dia gadis konyol yang tersenyum manis dan datang menghampiriku.
“Kak…,“ ia menyapaku, dan memberikan sekotak susu kemasan.
“Ayo… ambil,“ pintanya, sementara aku hanya terdiam. Kutatap wajahnya yang ayu, lalu aku tersenyum dan mengambil sekotak susu kemasan tersebut. Aku memberanikan diri memberikan buku catatannya.
“Lain kali jangan sampai ketinggalan, ya!” ujarku, setengah memarahinya.
“Kenapa buku ini bisa ada di Kakak?” ia terlihat bingung seraya memandang buku catatannya lekat-lekat memastikan bahwa itu benar-benar miliknya.
“Gue temuin itu di Halte,” ku pandangi lagi wajah Kemuning, kali ini ia terlihat menahan malu dengan wajahnya yang memerah.
“Tapi tenang aja, gue gak baca buku itu kok,” ujarku, dan kali ini ku pandangi wajah Kemuning yang tersenyum lega. Aku terpaksa berbohong, aku tahu ia pasti malu mengakuinya atau mungkin ia ragu mengakuinya karena aku hanyalah berandal jalanan.
Tiba-tiba sebuah mobil Honda jazz berhenti, tepat di depan kami. Lagi-lagi lelaki berambut spike itu muncul dihadapanku, lelaki yang kupikir kekasih Kemuning, tapi tidak setelah ku membaca buku catatan Kemuning. Ia tersenyum dan turun dari mobilnya lalu datang menghampiri kami. Semakin dekat lelaki itu semakin tampan, dengan style diatas rata-rata, belum lagi tubuhnya yang kekar tinggi semampai layaknya atlet basket. Dapat kupastikan itulah pria idaman wanita.
“Kenno…,” ujarnya memperkenalkan diri.
“Gara…,” jawabku, lalu kami saling berjabat tangan.
“Maaf, gue musti pergi, mungkin lain waktu kita bisa ketemu lagi,“ ujarku, seraya pergi meninggalkan mereka berdua.
“Tunggu…!” Kenno, menghalangi kepergianku.
“Kemuning banyak cerita tentang Mas, bagaimana perasaan Mas sendiri?” tanya Kenno sedikit berbisik. Aku terdiam lalu menatap Kemuning, ia terlihat begitu mengamati Kenno.
“Ada apa, Ken? Jangan halangi Kak Gara, dia memang harus pergi,” ujar Kemuning. Aku yakin Kenno begitu mencintai Kemuning, akupun mencintai Kemuning. Tapi tidak…!!!! Aku harus katakan yang sebenarnya. Tapi tidak di tempat ini, suasananya gaduh dan banyak orang, ya… aku harus katakan dan mengubur rasa cintaku sekalipun aku membutuhkannya!
“Bisa kita bicara, sepulang kalian kuliah?” Kemuning tersenyum, sementara Kenno menganggukan kepala bertanda setuju.

***
Kutemui mereka seperti pintaku, namun tak kutemukan gadis pujaan hatiku. Yang nampak hanyalah sosok Kenno yang sedang berdiri dan bersandar di mobilnya. Ia menyambutku dengan senyumannya, seolah aku sudah berteman lama dengannya. Padahal aku tahu persis ia begitu mencintai Kemuning, dan aku pun yakin ia mengetahui perasaan Kemuning yang sesungguhnya terhadap diriku. Namun dalam guratan wajahnya tak nampak sedikit pun kebenciannya terhadapku.
“Mana Kemuning?” tanyaku seraya menghampirinya.
“Di perpus, lagi cari bahan referensi. Gue berharap bisa nemenin dia, tapi dia suruh gue, cepet-cepet nemuin lo.”
“Sorry, gue telat ya?”
“Gak apa-apa, santai aja lagi. Kemuning juga masih di perpus. Oh, ya… ada yang mau dibicarakan sama Kemuning atau sama gue?”
“Baik Kemuning atau pun lo, kalian berdua harus sama-sama tahu. Rokok?” aku menyodorkan sebungkus rokok.
“Sorry, udah lama gue berhenti ngeroko. Mungkin benar cinta bisa mengubah segalanya, gue berubah 360 derajat karena Kemuning.”
“Gue percaya lu mencintai Kemuning.”
“Bukan sekedar cinta, tapi gue jauh lebih membutuhkannya. Sama seperti gue dulu yang gak bisa lepas dari obat-obatan terlarang, tapi gak…! Setelah gue lebih membutuhkan Kemuning. Jangankan obat, nikotin aja sekarang gue nggak berani nyentuh.”
“Lalu apa perasaan Kemuning terhadap, lo?”
“Gak ada, selain menganggap gue sebatas sahabat. Cinta itu bengis, karena Kemuning gak bisa terima gue. Tapi gue berharap dia bisa bahagia, sekalipun bukan gue sosok yang beruntung itu. Gue cukup tau siapa sosok beruntung itu,” aku hanya terdiam mendengar kisahnya, meskipun Kenno bersikap selengean dan bengal, tapi dari ketulusan hatinya, dia pantas mendapatkan Kemuning.
Tak berapa lama, Kemuning datang menghampiriku. Kemuning gadis cantik sempurna, ia selalu mengenakan busana sederhana dan jauh dari kesan glamour. Mike up-nya pun jauh dari kesan menor, kecantikannya begitu original. Kelembutan hatinya selalu terpancar lewat senyuman manisnya, yang membuat denyut nadiku berdetak kencang, saat manatap parasnya yang tak ada bandingannya.
“Maaf… aku sedikit telah, ya?” ujar Kemuning seraya tersenyum seperti biasanya.
“Gak apa-apa, kok. Oh… ya Kemuning, gue datang kesini mau minta maaf.”
“Maaf?”
“Ia maaf, gue lancang.”
“Tentang apa?”
“Buku catatan.”
“Loh… jutru aku mau ucapin makasih, karena kakak udah nemuin dan ngembaliin buku catatan ini.”
“Tadi gue bohong, isi sebagian dari buku itu… gue… udah baca. Lo…. Gak marah, kan?”
“Kakak memang harus baca!!!!” aku terkejut, bukan karena bentakan suaranya tapi lebih kepada maksud ucapannya, yang membuatku bingung harus berkata apa. Kupalingkan wajahku dan ku lihat Kenno, ia tersenyum pasrah seraya menganggukan kepala.
“Tapi, setelah gue baca buku catatan itu, lo benar-benar wanita yang paling bodoh yang pernah gue temui. Apa yang lo harapkan dari gue? Apa selera lo, berandal jalanan? Selera rendahan! Maaf, Gue gak bisa mencintai lo!” seketika tinjuan Kenno bersarang di wajahku, keseimbanganku mendadak hilang dan terhuyung hingga terjatuh, lalu darah segar mengalir di kedua lubang hidung dan bibirku. Kutatap wajah Kemuning, kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak kuasa menahan kesedihannya, lalu ia menyeka air mata yang membasahi pipinya. Kenno menarik kaus belelku, menyuruhku bangkit.
“DENGAR YA, GARA…!!! Lo… akan mati membusuk, kalau sekali lagi lo berani bentak dan bilang Kemuning bodoh!” bentak Kenno, ia begitu marah tak menerima perlakuanku terhadap Kemuning.
“Buku catatan itu buktinya!”
“Benar… lo gak pantas buat dia, gue jauh lebih pantas ketimbang lo! Tapi dia mencintai lelaki dungu seperti lo…! dia memiliki perasaan yang lebih terhadap lo ketimbang gue yang dia anggap sebatas teman,” ujar Kenno seraya melepaskan kaos belelku dari gengamannya dan mendorong pundakku sekuat tenaga. Aku kembali terhuyung hingga terjatuh, ku lihat kemuning berniat beranjak pergi meninggalkanku, namun aku segera bangkit, kutarik lengannya dan kupeluk tubuhnya.
“Maaf Kemuning, karena gue telah terlahir menjadi anak haram dari rahim seorang wanita simpanan, yang tak lain ibu gue sendiri. Dan rahasia besar yang harus lo dengar, sekalipun itu sangat menyakitkan. Bahwa… Ayah lo, yang membuat gue terlahir di dunia ini,” perlahan-lahan Kemuning melepaskan pelukanku, ia masih tak percaya dengan ucapanku.
“Bohong…!!!”
“Gue, gak bohong…!”
“Sebelumnya aku tahu, Kak…!!! tapi kuharap itu hanyalah bualan besar yang ibuku karang. Jadi itu benar?”
“Ya… itu benar, gue mencintai lo seperti seorang kakak yang mencintai adiknya, sekalipun kita tidak terlahir dari rahim yang sama,” jawabku santai, lalu Kemuning kembali memelukku.
“Lo tetap adik gue, karena kita terlahir dari Ayah yang sama.” Sungguh hanya itu yang dapat kulakukan, sekalipun aku membutuhkannya. Ku korbankan rasa cintaku, karena bagaimanapun kami memiliki hubungan sedarah, yang tak mungkin dipersatukan lewat ikatan pernikahan. Aku tidak terlahir dari zaman pasangan Qabil dan Labuda atau Habil dan Iqlima. Karnanya aku tak mau Tuhan murka terhadapku, sekalipun aku berandal jalanan.
***

Rabu, 26 Januari 2011

Cerpen Titik Air Langit



Oleh : Vivi Yulianti

Kulangkahkan kaki menyusuri halaman kampus, kedua bola mataku terus menebar pandang kearah kerumunan orang berharap dapat menemukan Bian. Aku masih berusaha menghubunginya, namun tak pernah ada jawaban. Akhir – akhir ini sikapnya terhadapku sedikit berubah.  Ia jarang mengirim pesan apalagi menghubungiku. Apa karena selama ini ia selalu memperhatikanku, sehingga membuatku seperti kecanduan dan tak terbiasa atas sikap acuhnya. Atau semua lelaki pasti memperlakukan hal yang sama, jika mulai bosan pada kekasihnya. Jika ada perempuan yang tak suka diperhatikan atau dipuji oleh seorang lelaki , aku rasa dia sedang berbohong. Pada hakekatnya perempuan selalu ingin diperhatikan dan dipuji meski tak terang – terangan memintanya.
Aku berusaha mengingat kejadian – kejadian yang mungkin menjadi alasannya, mengapa akhir – akhir ini sikapnya acuh terhadapku. Namun selama ini, aku merasa memperlakukannya cukup baik. Apa karena aku kurang peka? Sehingga tak menemukan titik kesalahanku sendiri. Karena itu, aku sempat tanyakan langsung padanya, berharap ia dapat berterus terang. Entah benar atau tidak yang ia katakan padaku, bahwa tak ada yang salah dari diriku, hanya saja akhir – akhir ini, ia sedikit sibuk karena terpilih menjadi ketua BEM di Kampus. Aku dapat memakluminya, jika itu memang benar.
Tapi selalu saja ada yang mengganjal dalam pikiranku, yang terkadang membuat ulu hatiku terasa ngilu. Gosip – gosip yang kudengar dari beberapa teman sekelasku, akan kedekatan Bian dengan Karina, membuatku bertanya – tanya akan kebenarannya. Entahlah, aku tak pernah tanyakan langsung padanya, karna aku cukup tahu Bian pasti akan marah jika aku tak mempercayainya.
Kulangkahkan kedua kakiku menuju tempat parkir. Kulihat kearah seberang, motor vixion milik Bian terparkir rapih diantara deretan motor lainnya. Aku terdiam saat  melihat vespa hijau putih itu terparkir di sebelah motor Bian. 
“TIN…!!!! TIN… TIN…!!!!!!” suara klakson mobil, membuatku terlonjak kaget dan tersadar dari lamunanku.
“Mia… lo udah bosen hidup, ya!!!” bentak si pengemudi itu yang tak lain adalah Karina.
Sorrysorry…,” jawabku, lalu mundur dua langkah mempersilahkannya lewat. Kemudian Karina kembali pergi mengemudikan mobilnya tanpa sepatah kata memjawab permintaan maafku.
“Ukh… dasar nenek sihir!!!” gerutuku sedikit kesal, tanpa kusadari kedua kakiku terus - menerus melangkah mundur.
“Krekkk…,”
“Arggghhh!!!” tanpa sengaja sebelah sepatu high heelsku menginjak sepatu kulit berwarna coklat, ia mengaduh kesakitan seraya menarik sepatunya agar terbebas dari pijakan sepatuku. Namun karena ulahnya, tubuhku tiba – tiba kehilangan keseimbangan. Aku jadi tak kuasa menahan beban tubuhku sendiri sehingga terpaksa bersender tepat mengenai dada bidangnya.
“BRUKKK…!!!” kami terjatuh berbarengan, sementara posisi tubuhku kini tepat berada di atas tubuhnya. Aku segera bangkit, lalu memutar tubuhku. Ternyata ia seorang lelaki, terlihat dari pakaian dan postur tubuhnya yang tinggi kekar meski tak berotot dan terlihat kurus, tapi dapat kupastikan ia seorang lelaki. Aku tak dapat mengenali wajahnya karena ia masih mengenakan helm di kepalanya.
“Aduh… maaf, Mas… saya gak sengaja,” ujarku meminta maaf, seraya merapatkan kedua telapak tanganku. Lalu aku bergegas memegang lengannya untuk membantunya berdiri. Aku berusaha membersihkan kerikil – kerikil yang mengotori Sweater biru langit yang ia kenakan.
“Maaf, ya?” ujarku kembali meminta maaf. Namun ia hanya terdiam mematung tepat dihadapanku. Apa ia sedang menatapku? Atau menatap orang – orang di sekitarku? Aku menengok kearah kanan lalu kearah kiri, namun tak ada orang. Syukurlah berarti tak ada orang yang melihat kejadian konyol yang terjadi barusan. Atau ia masih shock karena kecerobohanku yang membuatnya terjatuh, hingga posisi tubuhku tepat berada diatas tubuhnya. Aku rasa ia sedang marah, ya benar… pasti begitulah perasaannya terhadapku. Entahlah aku tak dapat melihat wajahnya karena ia masih mengenakan helmnya. Tapi itu jauh lebih baik daripada aku harus melihat ekspresi wajahnya yang bermuram durja, dengan hidungnya yang kembang kempis persis korban penyakit asma, belum lagi sorotan matanya yang tajam penuh amarah. Pasti aku takan sanggup menatapnya, lain halnya bila ia mengenakan helm. Ia lalu tersadar dari lamunannya, kemudian bergegas memungut lembaran surat undangan merah marun yang berserakkan di jalan akibat ulahku. Aku berniat membantunya, namun Ia seperti enggan kubantu. Ia selalu menghalangiku dengan tubuhnya saat aku berusaha memungut surat undangan. Selesai memungut satu persatu surat undangan tersebut, ia pergi begitu saja tanpa sepatah kata.
“Mas… maaf ya?” teriakku dari kejauhan seraya mendekatkan kedua telapak tangan ke arah mulutku. Lalu ia menoleh kearahku dan memberikan kepalan tangan, membuatku terdiam dengan wajah memelas. Tiba – tiba muncul ibu jari dari sela – sela kepalan tangannya, menandakan bahwa ia sudah dapat memaafkan kesalahanku.
“Mia… Mia…!” teriak seseorang memanggil namaku. Aku segera membalikan tubuh, mencari dimana suara tadi berasal. Kulihat Bian berlari datang menghampiriku.
“Maaf… ya,” ujarnya meminta maaf, ia terlihat kelelahan seraya mengusap keringatnya yang bercucuran.
“Kok, gak diangkat?”
Sorry… sorry… HP-ku ada di tas, gak kedengeran soalnya disilent.”
“Ya… udah, gak apa – apa,” jawabku lalu kusodorkan tissue untuknya.
“Udahlah gak usah, aku gak punya banyak waktu. Mendingan sekarang kita pulang aja, gimana?”
“Ada urusan?”
“Iya… aku musti buru – buru ke rumah Karina, soalnya tugas himpunan belum selesai.”
“Karina?”
“Iya… Karina,” jawabnya lantang, aku hanya terdiam.
“Tolong Mia, kamu gak usah mikir yang gak - gak deh…! Antara aku sama Karina gak ada hubungan apapun.”
“…..”
 “Dengar ya, setiap orang pasti punya masa lalu, kan?”
“Ya…”
“Wajar kalau aku deket sama Karina, karena dia sekertaris himpunan dan aku ketua.”
“Iya… aku percaya, kok!“
“Baguslah, sekarang aku antar kamu pulang, ya?” ujarnya lalu menarik lenganku menuju tempat parkir. Aku mencari – cari keberadaan motor vespa yang sempat membuatku tertegun menatapnya.
“Lo cari apa?” tanya Bian, aku hanya menggelengkan kepala. Kami pun segera pergi meninggalkan kampus.

                                                                           ***       

            Kami terus menyelusuri jalanan kota Bogor. Kulihat langit sedikit mendung karena matahari terus bersembunyi dibalik gumpalan awan berwarna hitam. Aku heran kenapa Bian tiba – tiba menghentikan sepeda motornya tepat berada di depan mobil Avanza milik Karina.
            “Kayaknya Karina butuh bantuan kita,” ujar Bian lalu datang menghampiri Karina. Aku pun segera menghampiri Karina yang tengah sibuk memeriksa bagian depan mesin mobilnya.
            “Kenapa, Rin?” tanya Bian.
            “Biasa, ngadat...! Lo bisa bantu, gue?” tanya Karina, lalu menatapku dengan sorot mata tajam, aku hanya tersenyum membalasnya.
            “Aduh…! Masalah beginian, mana gue tahu. Tapi gak jauh dari sini ada bengkel, gue bisa suruh mechanic.”
          “Masalahnya gue buru – buru, Ian.”
            “Memang lo mau kemana?” tanyaku, namun Karina hanya terdiam tak memperdulikan pertanyaanku.
            “Rin… Mia tanya lo mau kemana?”
            “Hah…? Oh… gue musti nemuin Mbak Arin. Lo tau, kan Ian? Mbak Arin selaku narasumber buat acara seminar besok.”
            “Loh… bukannya Mbak Arin udah bersedia datang. Barusan gue udah konfirmasi, kok.”
            “Ia… tapi paling gak, kita datengin Mbak Arin secara langsung. Itu jauh lebih sopan,” saut Karina lalu ia mendelikan matanya kearahku. Aneh… apa sih… salahku! Ia terlihat begitu membenciku. Aku tahu Bian memang mantan kekasihnya. Tapi bukan berarti aku yang merebut Bian darinya. Itu memang salahnya sendiri yang memutuskan Bian dan memilih bersama selingkuhannya. Lalu jangan salahkan aku, jika Bian memintaku menjadi kekasihnya dan aku menerimanya karena aku pun mencintainya.
            “Oh… ya udah, lo pergi aja naik angkot. Biar gue yang jagain mobil lo,” saran Bian membuat Karina seperti naik pitam.
            “ADUH…!!!! Masa lo gak ngerti juga, lo harusnya anterin gue dong. Lo gak mau, kan acara seminar besok jadi kacau?”
            “Oke, kalau gitu, gue anter Mia pulang dulu, setelah itu baru gue anter lo, gimana?”
            “Udah deh… Ian, kita gak punya banyak waktu,” paksa Karina lalu menarik lengan Bian menuju sepeda motor.
            “Lepasin dong, Rin!”
            “Gak apa – apa kok, Ian. Aku pulang naik angkot aja,” ujarku mengalah, karena aku enggan berurusan lebih lama dengan siluman rubah yang membuatku semakin kesal.
            “Kamu yakin?”
            “Udah deh… Ian, tunggu apa lagi!”
            “Iya gak apa – apa,” sautku seraya mengulurkan tangan untuk menghentikan angkutan umum, lalu segera masuk dan duduk berdesak – desakan dengan penumpang lainnya. Ku lihat Bian menghampiri dan memberikan ongkos kepada supir angkot yang kutumpangi.
            “Hati – hati, ya? ongkosnya udah kubayar,” aku hanya tersenyum seraya menganggukan kepala. Kulihat para penumpang terus memandang kearahku, membuatku sedikit canggung dan bingung maka kualihkan pandanganku kearah jendela.
Melihat pandangan mata dan sikap Bian terhadap Karina, cukup membuatku yakin, bahwa ia masih mencintai Karina. Baiklah… jika ia masih mencintai Karina, aku adalah orang pertama yang akan merestui hubungan mereka. Bagaimanapun juga Karina pernah menjadi kekasihnya meski sempat mengecewakannya. Tak ada yang salah dari mereka, karena cinta bisa datang kapan saja sekalipun pernah mengecewakan ataupun dikecewakan. Aku yang akan salah bila memaksa Bian tetap memilihku. Huh… entahlah aku pun tak dapat membaca perasaan Bian terhadapku, apa ia masih mencintaiku seperti dulu? atau ia mulai bosan denganku? Kurasa biarkan waktu yang menjawab segalanya.
Menyelusuri jalan Surya Kencana sama saja memutar memori pelik yang baiknya disirnakan dalam hidupku. Meski awalnya terasa semanis madu namun bukanlah hal yang tak mungkin jika sengatan – sengatannya dapat menusuk ulu hatiku. Aku terkejut, saat motor vespa hijau putih melintas tepat dihadapanku. Tak ada yang aneh sebenarnya, semua orang pun tahu vespa hanyalah kendaraan roda dua yang unik meski terlihat kuno. Yang aneh hanyalah pengendaranya saja. Aku jadi penasaran pada setiap pengendara vespa apalagi jika vespa itu bercatkan hijau putih. Aku selalu ingin tahu siapa pengendaranya. Apa benar Nicko yang mengendarai vespa itu? tak jarang aku berfantasi bahwa sipengendara itu memang Nicko. Hal itu kulakukan, tak lain hanya untuk membuatku bahagia saat bermasalah dengan Bian dan sebagai obat ketika aku merasa sendih.
Nicko mantan kekasihku yang umurnya dua tahun lebih tua dariku. Meski begitu, ia tetap enggan kupanggil kakak. Aku sangat mencintainya dan ia tak pernah mengecewakanku, hanya itu yang kurasakan. Ia pintar dan solid, itulah yang kukagumi darinya. Walau sikapnya angkuh, cuek, sedikit kasar, brutal dan bengal namun seolah telah terhapus dari pikiranku. Ia memang tak pandai merangkai kata layaknya seorang penyair, ucapannya pun jauh dari kesan manis dan romantis, namun ketulusan cintanya membuatku yakin akan segalanya. Karena cinta tak harus tersurat dan terucap seindah kata cinta, yang terpenting adalah sebuah tindakan dari apa yang tersirat.
Meskipun matahari rela membakar tubuhnya sendiri demi menyinari dan memberikan titik awal kehidupan pada bumi dan sekalipun rembulan tak pernah terpejam tetap melawan kantuk, demi terangi bumi hingga fajar kembali berfijar. Namun tak pernah kutemukan mereka saling bertemu menyambut langit berbarengan. Mereka akan datang dan pergi bergantian sesuai titah sang maha kuasa. Begitupun aku yang muslim dihatiku dan dirinya yang kudus dihatinya, yang tak dapat menyatu walau keinginan tuk bersama bagai biota bawah laut yang tak terpisahkan dari genangan air laut. Bagaimana jadinya bila matahari berusaha mengejar rembulan? mungkin air laut akan tumpah kedaratan, gunung – gunung menyemburkan larva, tata surya saling beradu dan tamatlah seluruh makhluk hidup di muka bumi ini. Hal itu terjadi karena matahari tak turuti titah sang pencipta, ia malah terbit di ufuk barat dan terbenam di ufuk timur karena ingin bersama rembulan menyambut langit berbarengan. Karena itulah aku rela menjadi pungguk yang merindukan rembulan. Rembulan memang hanya bertemankan bintang lalu matahari hanya bertemankan pelangi atau lembayung. Maka jika bisa, ingin kutitipkan rasa rinduku pada titik air langit, karena hujan dapat hadir di kala siang ataupun malam.
Aku dan Nicko layaknya matahari dan rembulan yang tak dapat dipersatukan karena perbedaan keyakinan. Awalnya aku merasa perbedaan itu hanyalah kerikil tajam yang menggores kulit, namun seiring waktu berjalan luka itu seperti terinfeksi dan menganga hingga aku tak kuasa menahan sakitnya. Nicko sering bertengkar dengan ibunya begitupun aku dengan kedua orang tuaku yang menentang keras hubungan diantara kami. Walau Ayah Nicko merestuinya namun itu belum cukup bagiku. Bagi Nicko perbedaan itu bukan suatu masalah, tapi bagiku perpisahan adalah jalan terbaik, karena kusadari akan sebuah perbedaan yang tak dapat dipersatukan lewat ikatan pernikahan. Jikalau dapat, mungkin hanya akan menjadi perdebatan dan perselisihan. Hingga akhirnya kuputuskan untuk berpisah. Meski awalnya Nicko menolak dan tetap berusaha meyakinkanku, namun aku bersikeras ingin putus darinya. Hingga ia mengajukan sebuah persyaratan. Bahwa aku tak boleh lagi mencarinya, karena ia takan pernah mencariku lagi dan jika suatu saat bertemu dengannya, berpura – puralah untuk tak mengenalinya. Saat itu aku terbawa emosi dan menyetujui apa yang ia inginkan. Sampai detik ini aku tak pernah bertemu dengannya. Apalagi ketika dua tahun yang lalu ia memutuskan melanjutkan kuliahnya di Bandung. Kini yang selalu kurasakan hanyalah rindu yang berkepanjangan, berharap dapat menatap wajahnya walau hanya sekali.
Kini rembulan itu telah pergi tanpa jejak, tinggalkan kata yang merekat - erat dalam kalbuku. Kini rembulan itu, tak kunjung menampakan batang hidungnya karena mencoba menutupi din - ding hatinya yang sempat menenggelamkannya. Kini rembulan itu tak kunjung datang seolah termakan waktu tinggalkan jejak kenangan, yang terus berfijar kala kubuka mata dan selalu muncul menjelma melalui bunga tidurku saat ku menutup mata. Kini rembulan itu, telah berkelana demi menghapus jejakku berharap tersirnakan dalam ingatannya.
Sontak aku tersadar dari lamunanku, kulihat hujan turun begitu deras. Sial…! gara – gara melamun, tempat yang kutuju sudah terlewat cukup jauh.
“Kiri…!” aku segera turun, mengingat Bian sudah membayarnya, aku pergi begitu saja dan berlari untuk berteduh. Walau berlari begitu kencang, namun tetap saja pakaianku cukup basah akibat deras hujan yang turun. Hah… kenapa aku begitu bodoh…! Harus berteduh di rumah makan ini. Salah satu tempat yang menyimpan kenanganku bersama Nicko.
Kulihat beberapa orang yang bernasib sama denganku, mereka harus berteduh dengan tubuh mengigil kedinginan. Tetesan air langit seolah benar – benar milik kota Bogor. Pantas jika Bogor dijuluki kota hujan. Meski begitu, aku tetap saja enggan membawa payung. Peribahasa sedia payung sebelum hujan seperti tak berarti bagiku, yang terlintas olehku saat ini hanyalah sedia obat setelah hujan reda. Kupandangi jalan raya, aroma asap aspal yang mengepul karena tersiram hujan menusuk hidungku, tapi sepertinya aroma ayam panggang mengalahkannya, hingga membuat perutku terasa lapar.
Aku terlonjak kaget ketika melihat vespa hijau putih itu datang lalu diparkirkan tepat dihadapanku. Sipengemudi itu segera turun dan berteduh disampingku. Ia membuka jaketnya yang basah kuyup hingga terlihat jelas sweater biru langit yang ia kenakan. Pandanganku beralih kearah sepatu kulit berwarna coklat yang ia kenakan. Tak salah lagi, ia lelaki yang tadi siang tertimpa kesialan akibat kecerobohanku. Aku bermaksud menyapanya, namun seluruh tubuhku seperti terkena guntur yang menggelegar saat lelaki itu membuka helmnya. Apakah aku sedang berfantasi? Tapi kenapa semua terlihat begitu nyata. Aku semakin yakin saat melihat no plat motor vespa milik lelaki itu. Tak salah lagi, lelaki itu benar – benar Nicko, mantan kekasihku yang selalu kurindukan pertemuannya. Namun kejadian tadi siang, seolah membuat aliran darahku menjadi beku. Kenapa ia tak menyapaku? kenapa ia bisa berpura – pura tak mengenaliku, tapi aku tak bisa seperti itu, tak bisa turuti apa yang ia inginkan. Atau memang ia benar – benar sudah melupakanku. Jika benar, itu seperti mimpi buruk bagiku.
Ingin rasanya aku menyapanya, tapi aku takut semua akan berakhir dengan rasa kecewa. Aku segera berlari kedalam rumah makan dan memilih duduk dibagian pojok ruangan. Kurasa menghindar adalah yang terbaik bagiku. Kusenderkan kepalaku diatas kedua lengan yang kutelungkupkan di atas meja. Lalu kupejamkan mataku berharap pertemuan ini hanyalah fantasi belaka. Meski rasanya ingin menyapanya, karena inilah yang kutunggu – tunggu. Tapi aku telah berjanji berpura – pura tak mengenalnya, jadi mana mungkin aku menyapanya meskipun wajahnya tak pernah tersirnakan dalam ingantanku.
“Maaf, Mbak… mau pesan apa?” tanya seorang pelayan restoran.
“Ayam panggang, minumnya es teh manis, ya Mbak?”
“Gak sopan lo…!!! Ditanya tuh…! tatap wajahnya, bukan tidur – tiduran gak jelas kayak gitu…!” pekik seseorang, disusul dengan mendaratnya jitakan tepat di ubun – ubun kepalaku. Rasanya aku ingin marah, karena orang itu benar – benar tak sopan, sontak  aku menegakan kepala. Tubuhku hanya diam mematung tak percaya bahwa saat ini orang yang kurindukan kehadirannya tepat duduk dihadapanku. 
“Gue ayam goreng minumnya coffee ya, Mbak?” pesan Nicko.
“Kenapa…? gue tambah ganteng, ya?” pertanyaan Nicko membuatku tersadar dari lamunan, lalu memalingkan pandangan kearah jendela. Hujan masih turun begitu deras, bahkan kabut tebal membuat pandanganku tak dapat melihat jelas kearah luar. Bagaimana ini, orang yang kurindukan benar – benar ada dihadapaku dan kurasa ini bukanlah sebuah fantasi belaka.
“Hujan – hujan pesan es teh, lo error ya?” lagi – lagi satu jitakan tepat mendarat di ubun – ubun kepalaku.
“SUKA – SUKA GUE DONG…!!!!” teriakku membuat semua orang menatap kearah kami. Aku hanya menundukan kepala seraya menggaruk kepalaku yang tak gatal.
“Suara lo, ya? tetap aja… kayak sound system yang menggelegar.”
“LO… MASIH AJA USIL…!!!” lagi – lagi teriakanku membuat semua orang menatap kearah kami.
“Kalo mau demo jangan disini, neng…” bisik Nicko lalu tersenyum penuh kemenangan. Tak berapa lama pesanan kami datang. Aku segera menyeruput es teh manis, lalu beralih pada seporsi ayam panggang dan nasi hangat yang masih mengepulkan asap. Nicko menyodorkan sambalnya untukku.
“Gue tahu, lidah lo udah gak berpungsi dengan baik.”
“Dasar bocah… udah gede masih gak doyan sambel…!” pekikku tak mau kalah.
“Ini juga, gue gak suka wortel,” ia memindahkan irisan worel ke piringku.
“Pantes tanpa kacamata, dunia lo serasa gelap.”
“Gue bukan kelinci…!”          
“Tapi kambing,” aku memindahkan selada dan mentimun ke piringnya, karena aku tak menyukai selada dan mentimun, ia hanya tersenyum menatapku. Lalu mencomot ayam panggang milikku, tak mau kalah aku pun mencomot lebih banyak ayam goreng miliknya.
“Itulah indahnya sebuah perbedaan. Saling memberi dan melengkapi, bukan dijadikan alasan untuk berpisah,” aku hanya terdiam tak menimpalinya. Lalu menatap kalung salib yang ia kenakan. Entahlah aku begitu merindukannya, jika disuruh memilih antara Bian dan Nicko, tentu saja aku akan memilih Nicko. Benar – benar tak ada yang berubah darinya, ia tetap usil dan selalu membuatku kesal. Dulu setiap saat kami memang selalu bertengkar seperti ini. Walau begitu, ia selalu membuatku tersenyum dan tak pernah membuatku menenteskan air mata.
“Gue pinjem,” Nicko mengambil HP-ku yang kusimpan diatas meja.
“Mulai sekarang kita terhubung,” ujarnya lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Aku hanya terdiam terus menikmati hidangan.
“Sambel yang lo makan, pasti cabenya pada busuk.”
“Bodo…! Yang penting enak.”
“Gimana gak enak, orang diblender sama ulet – uletnya.”
“Gak ngaruh, gue tetap napsu, kok!”
“Dari dulu hobi, lo memang menimbun lemak, kan? Tapi gak gendut – gendut soalnya perut lo itu, perut karet.”
“Huhh…! Suka – suka gue, dong. Daripada mulut lo, mulut karet. Bawel…!!!”
“Oh… ya, maafin gue karena selama ini gue bertahan dengan ego. Termasuk kejadian tadi siang,” tiba – tiba Nicko menatapku begitu serius.
“….”
“Ternyata lo bisa, ya? Berpura – pura gak kenal sama gue. Terus terang gue gak bisa,” aku hanya terdiam, sementara mataku tertegun menatapnya.
“Sekali lagi, maaf.”
“Gak apa – apa, kok.”
“Lo benar, matahari dan rembulan gak bisa terangi langit berbarengan, mereka harus terangi langit bergantian sesuai titah sang maha kuasa.”
“Masih inget ucapan gue dulu?”
“Memang gue pikun kayak lo, apa!” lagi – lagi jitakan ketiga tepat mendarat di ubun – ubun kepalaku.
“LO ITU NYEBELIN, YA…! Ups…” aku kembali menundukan kepala, melihat beberapa pengunjung menatap kearahku, bahkan ada beberapa mengunjung yang menggelengkan kepalanya, merasa bosan dengan sikapku. Nicko hanya tertawa, puas melihat kebodohanku.
“Lo harus dateng, ya?”
“Apa ini?” aku bingung ketika Nicko menyodorkan surat undangan merah marun yang dipungutnya tadi siang. Kali ini aliran darahku seperti tersumbat, kala melihat nama Nicko Levi Vincentius sebagai mempelai pengantin pria.
“Gue mau mengakhiri masa lajang,” ucapnya membuat ulu hatiku seperti tersayat.
“Gue pasti dateng, selamat ya?” jawabku seraya mengulurkan tangan.
“Makasih, ya?” lalu kami saling berjabat tangan.
Titik air langit bukan hanya mengirimkan salam kerinduanku pada rembulan, tapi juga mempertemukanku sekaligus mengakhiri harapanku. Titik air langit kumohon, terus basahi bumi Bogor, agar aku dapat terus memandang lekat – lekat rembulan yang kini telah menemukan bintang. Titik air langit, kumohon cegah rembulan agar tak berpaling dari hadapanku, agar aku bisa terus melukis dan memahat wajahnya dalam ingatanku. Kelak rembulan akan menjaga bintang sepenuhnya, apakah aku rela merestui mereka?
Tak berapa lama hujan kembali mereda, meski begitu kabut tebal masih menyelimuti kota Bogor. Titik air langit, kenapa kau sudahi pertemuan yang selalu kurindukan? Kami berdua bebarengan keluar dari rumah makan, Nicko memegang jemariku begitu erat. Aku hanya berharap mimpi ini tak segera berakhir.
“Gue anter lo pulang, ya? “ aku hanya menganggukan kepala. Tiba – tiba kudengar sayup – sayup suara seseorang memanggil namaku.
“Mia…!”
“Dasar centil… pulang aja sono lo sama dia…!” bentaknya sedikit kesal lalu melepaskan lenganku, dan mempersembahkan senyumannya padaku. Kulihat samar – samar wajah Bian yang datang menghampiriku.
“Gue pulang ya? Jangan lupa, ajak dia ke pesta pernikahan gue,” ujarnya lalu pergi begitu saja. Aku tak sanggup menahan tetesan air mata yang membasahi pipiku. Seharusnya aku bahagia karena kerinduanku telah terobati, namun surat undangan merah marun itu telah meruntuhkan benteng hatiku.
“Mia, gue lihat lo ada disini, makanya gue belok kesini. Mia… lo kenapa?” tanya Bian khawatir.
“Apa karena kedekatanku dengan Karina?” aku hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Bian.
“Kalau gitu kenapa?” aku hanya terdiam seraya mengusap air mataku. Tiba – tiba HP-ku bergetar, kupandangi lekat – lekat layar HP ‘pungguk memanggil’.
“Pungguk? Siapa pungguk?” ujarku dalam hati.
“Hallo…” jawabku memulai pembicaraan.
“Gue pungguk rindukan matahari,” jawab seseorang yang membuatku yakin bahwa yang menghubungiku adalah Nicko.
“Dimana – mana, pungguk itu merindukan rembulan.”
“Suka – suka gue dong, denger ya? Bagaimanapun juga lo musti dateng.”
“Iya gue bakal dateng, dasar bawel...! Bintang yang lo persunting pasti sangat cantik, jadi mana mungkin gue gak dateng.”
“Ya  iyalah, kalau ganteng mana mau, gue! Dasar cengeng…!” aku terdiam lalu mengamati kesuluruh arah berharap ia benar – benar sudah pergi dan tak melihatku menangis. 
“ENAK AJA, GE-ER BANGET SIH… LO! BUAT APA GUE NANGIS!!!” bentakku.
“Shutttt…” Bian memberikan sinyal, agar aku memelankan suaraku, aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala.
“Oh… lo lagi nangis, ya? Cieh…. yang lagi sedih,” goda Nicko membuatku bingung harus berkata apa.
“Hah… gak gitu, Nick.”
“Tapi gue seneng, dengernya.”
“Pokoknya, gue gak lagi nangis!”
“Denger ya, satu hal yang lo harus ketahui. Meski telah menemukan bintang, tapi gak ada cahaya seterang matahari. Asal lo tahu, tanpa matahari rembulan takan mampu sinari bumi saat malam datang. Rembulan bersinar karena mendapatkan pantulan sinar dari matahari, karena itu gue ucapkan makasih, karena telah memberikan pantulan cahaya, terima kasih Mia.”
“….”
“Mia… ”
“….”
“MIA… ! wah… payah tadi error sekarang lo konslet, ya?”
“Hah…” aku tersadar dari lamunanku.
“Gue mau bilang sesuatu sama lo?”
“Apa?”
“Jujur gu…e gue…. gak sang…. gup menahan.”
“Gak sanggup apa?”
“Gak sanggup menahan beban badan lo waktu tadi siang, sialan loh…! Pake nindih gue segala, diet dikit ngapa? Makanya kerjaan lo jangan nimbun lemak mulu!”
“Tuittttt… tuitttt… tuuitttt…” aku berniat mencecarnya namun ia menutup HP-nya. Aku hanya tersenyum, sementara Bian terlihat bingung menatapku.
 Terimakasih titik air langit, kau telah obati kerinduanku. Walau pada akhirnya aku tak bersamanya, tapi kebahagianku seolah terlahir kembali lewat tali silaturahmi yang kini kembali terjalin. Karena bagaimanapun yang kuinginkan bukanlah cinta semu yang tak disakralkan dan tak perlu diagung - agungkan. Aku hanya ingin cinta yang hakiki yang halal yang kelak mengecup ubun - ubunku, menjadi imam dalam hidupku dan imam itu seiman denganku. Aku tak mau Allah murka terhadapku, lalu menempatkanku dalam kenistaan, merajai kepahitan dalam hidup sebagai penadah kepiluan. Aku menyerah untuk perbedaan yang satu ini, karena hidupku dalam kefanaan atas semua yang semu. Aku masih menghirup nafas dan butuhkan udara, kelak  saat aku kembali menjadi saripati bersama tanah menyatu dalam bungkusan kain kafan, maka kehidupan kekal itu barulah berlangsung. Ya Allah kumohon temukan aku dengan malaikat tak bersayap yang ikhlas menjadi imamku serta dapat menguatkanku. Ya Allah kumohon berikan seorang imam yang rela mempersembahkan tulang rusuknya untukku. Apakah imam itu Bian? entahlah, karena bagiku esok masih sebuah misteri penuh harapan, sementara masa lalu yang kuingat hanya yang indahnya saja dan hari ini adalah kenyataan yang harus kuhadapi. Selamat menempuh hidup baru rembulan, kini aku hanyalah sahabat yang selalu mencintaimu.

***